.: A Place to relax your med minds :.

Tuesday, July 15, 2008

The Scary Anaphylactic Story...


Dear para rekan-rekan dokter dan juga para koass ("kok aku selalu salah"... ?) berikut ada "sekelumit" makalah tentang shock anafilaksis yang sering menghantui para dokter. Makalah ini saya kumpulkan dari beberapa kepustakaan, untuk kepentingan penulisan di format blog ini saya tidak mencantumkan narasumber dari berbagai kepustakaan yang saya buat, tapi bila ada yang ingin tahu, silakan email saya ntar insya Allah saya balas dgn kepustakaannya. Saya juga membuat flowchart yang insya Allah bermanfaat bagi rekan-rekan. Silakan mengcopy buat yang memerlukan.

SEJARAHNYA ANAFILAKSIS kira-kira begini (saya agak lupa dapat kepustakaanya di mana). Kata-kata "anafilaksis" pertama kali ditemukan oleh dua orang ilmuwan bernama Portier dan Richet pada tahun 1902 pada saat memberi vaksinasi pada anjing yang berakhir dengan kematian. Respon yang diharapkan dengan vaksinasi tersebut adalah profilaksis, akan tetapi yang terjadi adalah lawannya, sehingga disebut anafilaksis, artinya tanpa proteksi.

ANAFILAKSIS ADALAH SUATU REAKSI ALERGI SISTEMIK AKUT YANG BERAT yang berpotensi menjadi fatal dan dapat berakhir dengan kematian. Anafilaktik memiliki onset yang cepat disertai dengan keterlibatan banyak sekali sistem organ, dan disebabkan oleh suatu antigen yang spesifik pada individu yang sensitif. Reaksi anfilaktik biasanya fase tunggal, namun 20% dari kasus yang terjadi dilaporkan bifasik... artinya reaksi susulan mungkin akan terjadi pada 1 - 8 jam kemudian, menyusul serangan fase yang pertama diselingi suatu fase laten asimtomatik. Canggihnya lagi ada yang terjadi setelah 24 jam.

Penggunaan ß-blocker pada saat yang bersamaan dapat mengganggu respon terhadap penatalaksanaannya. Terapi pilihan masih "dijabat" oleh Epinefrin, sehingga harus diberikan segera. Penanganan sekundernya adalah maintenance ABC (airway, breathing, circulatory support), antagonis H1 & H2, kortikosteroid, (kadang-kadang) bronkodilator juga diperlukan. Yang tak kalah pentingnya adalah observasi pasca serangan. Pasien harus mudah diakses dalam jangkauan perawatan emergency selama 48 jam kemudian.


DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS ANAFILAKSIS diperlukan adanya suatu reaksi alergi sistemik yang berat. Sejauh ini tidak ada suatu definisi yang diterima secara universal karena anafilaksis terdiri dari sekumpulan gejala. Namun, ada sebuah diagnosa kerja yang baik, dipakai pleh program pengawasan pediatri di Kanada; yang menjabarkan anafilaksis sebagai "suatu reaksi alergi berat terhadap stimulus apapun, memiliki onset yang tiba-tiba, biasanya berlangsung kurang dari 24 jam, menyangkut satu atau lebih sistem organ dan menghasilkan satu atau lebih gejala seperti gatal-gatal, kemerahan, angioedema, stridor, wheezing, napas yang pendek, mual, muntah, diare, dan shock."


"PENAMPAKAN" KLINIS anafilaksis bervariasi, dengan tanda dan gejala klinisnya dapat di lihat pada tabel berikut.

Fitur-fitur Anafilaksis :
Neurologi

Dizzy (
nge-fly), lemas, syncope, kejang

Okular

Pruritus, injeksi konjungtival, lakrimasi


Saluran Napas Atas
Kongesti nasal, bersin, stridor, edema orofaring atau laring, batuk, obstruksi saluran

Saluran Napas Bawah
Dispneu, bronchospasme, takipneu, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (accessory muscle), sianosis, apneu oh.... :-(~~~

Kardiovaskuler
Takikardi, hipotensi, aritmia, miocard iskemia / infarct, cardiac arrest ohhh.... mati deh

Kulit
Flushing, urtikaria, eritema, pruritus, angioedema, rash makulo papular

Gastrointestinal
Mual, muntah, nyeri abdominal, diare

Sering kali pasien menjabarkan keadaan tersebut sebagai suatu sensasi hampir mati (
angor animi). Meski jarang terjadi, kejang dapat ikut "meramaikan" acara anafilaksis. Kematian yang pada anafilaksis biasanya terjadi akibat obstruksi saluran napas, atau kolaps nya sistem kardio vaskular, atau keduanya. Diduga kuat ada suatu keterkaitan antara kecepatan onset timbulnya gejala setelah paparan alergen pemicu dan berat ringannya episode serangan; di mana makin cepat onsetnya makin berat pula rangkaian anafilaksisnya. Dalam agenda anafilaksis, setiap detik berharga dalam menyelamatkan nyawa pasien. Pemberian epinefrin makin lama tertunda digabung dengan ada tidaknya riwayat asma pada pasien menimbulkan peningkatan faktor resiko terjadinya kematian.

Anafilaksis biasanya muncul dalam hitungan menit, namun juga kadang-kadang terjadi 1 jam setelah paparan. Biasanya yang model seperti ini bukan terjadi akibat pemberian obat-obatan parenteral, namun lebih menjurus ke sengatan binatang (lebah, ular, dll). Sebagaimana saya sebutkan di atas tadi, kira-kira 20% dari seluruh kasus anafilaksis yang terjadi memiliki model bifasik. Sepertiga dari kasus yang 20% tersebut dilaporkan lebih berat dari serangan pertama; sepertiga lainnya sama dengan yang pertama; serta sepertiga sisanya lebih ringan dari serangan pertama.

Saya tidak menemukan kepustakaan yang cukup dalam menjabarkan mortalitas kasus anafilaksis bifasik.



Sampai kini banyak kepustakaan yang me-recommend pemberian kortikosteroid untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya serangan fase kedua. Hal ini dianggap bermanfaat, namun harap dicatat bahwa ada laporan kasus-kasus yang tetap sampai ke serangan bifasik (bahkan berat) meskipun telah diberikan kortikosteroid. Sehingga seorang dokter mesti mempersiapkan kedatangan "tamu" tersebut meski telah diberikan kortikosteroid. Serangan anafilaksis yang berkepanjangan; yang sering kali berhubungan dengan hipotensi berat biasanya kurang responsif terhadap terapi dan prognosisnya buruk.

DIAGNOSIS BANDING
Pada praktek sehari-hari sangat tidak perlu untuk membedakan antara reaksi anafilaktoid dan anafilaksis ketika sedang terjadi karena keduanya memberikan respon pada perawatan yang sama. Yang perlu dibedakan adalah shock anafilaksis dengan kondisi kolaps sirkulasi lainnya. Kondisi yang paling mirip dengan anafilaksis adalah reaksi vasovagal, yang mana pada reaksi ini ditandai dengan hipotensi, pucat, bradikardi, lemah, mual, muntah, serta diaforesis. Pada reaksi vasovagal tidak dijumpai urtikaria, pruritus, angioedema, takikardi dan bronkospasme.
Dekomp pernapasan akut yang terjadi pada serangan asma berat, aspirasi benda asing, dan emboli pulmoner dapat menyerupai gejala-gejala pernapasan yang terjadi pada anafilaksis, namun tidak disertai gejala lainnya (pruritus, urtikaria, edema, dll).
Angioedema herediter yang dicetuskan oleh stress nonspesifik atau psiko-emosional bisa menimbulkan pembengkakan bibir, lidah, saluran napas atas, dan permukaan mukosa lainnya mungkin dengan disertai keluhan gastro intestinal seperti diare dan kram; namun bedanya tidak disertai pruritus dan urtikaria. Kondisi ini terjadi pada garis keturunan tertentu dengan keadaan otosomal dominan (...jadi inget kuliah tingkat satu...
) ditunjang riwayat angioedema pada keluarga biasanya ada.


Sekarang kita beralih ke best partnya : Terapi.
Anafilaksis adalah suatu kegawatdaruratan medis yang memerlukan terapi SEGERA. Ya, Segera ! Artinya, telat dikit bisa panjang urusannya. Saya pernah mendapat pelajaran berharga dari salah seorang rekan saya, dia pernah memberikan injeksi (Vitamin B inj kalau tidak salah) selang 10 detik kemudian pasiennya sesak napas, pusing, terus pingsan, dan sang dokter dengan "sigap" (+ panik + grogi + kaget + takut + terkejut-kejut tentunya) langsung lompat ke mejanya, ambil spuit, ambil ampul adrenalin, patahin ujungnya, kemudian di aspirasi ke spuitnya terus di injeksi ke pasien yang sudah pingsan tersebut... eh pasiennya bangun lagi. Post panic :
Pasiennya bertanya "Ada apa tadi dok ?..." tangan teman saya ternyata berdarah-darah disertai serpihan ampul adrenalin yang masih menancap di jarinya, dan dia menjawab "oh... nggak ada apa-apa kok". Yah kira-kira gitu deh, kejadiannya sudah beberapa tahun yang lalu tapi cukup dahsyat impact nya.

Nah sebelum menjawab masalah terapinya, kita bedakan dulu kategorinya menjadi 3 :

Dini

  • sensasi kehangatan / panas dan gatal khususnya pada daerah aksila dan genital
  • perasaan gelisah atau menjadi panik

Progresif

  • erytema atau rash urtika
  • edema pada wajah, leher, atau jaringan lunak

Berat

  • hipotensi (shock)
  • bronkospasme (terdengar wheezing)
  • edema laring (dyspnoea, stridor, afonia)
  • aritmia, cardiac arrest

Catatan: onset pada kasus yang berat dapat berlangsung cepat, tanpa tanda-tanda prodromal.



1

Singkirkan Alergen Penyebab
Stop seluruh obat yang dicurigai, atau media kontras, bersihkan dari mulut penderita, cabut sisa sengatan lebah (bila ada).



2

Berikan Oksigen
Baringkan pasien datar, dan berikan oksigen melalui face mask pada flow rate tertinggi yang memungkinkan (> 6 L/menit).



3

Berikan Adrenaline
Segera berikan injeksi adrenaline 1:1000 intramuscular pada paha bagian luar (lateral).
Dewasa (dan anak > 25 kg)
<> 50 kg . . . . . . . . . . . . berikan 0.50 mL
Anak-anak (<>(pakailah spuit insulin ukuran 1 mL)
1 thn . . . . . . . . . . . . 10 kg . . . . . . . . . . . . beri 0.1 mL
3 thn . . . . . . . . . . . . 15 kg . . . . . . . . . . . . beri 0.15 mL
5 thn . . . . . . . . . . . . 20 kg . . . . . . . . . . . . beri 0.2 mL
8 thn . . . . . . . . . . . . 25 kg . . . . . . . . . . . . beri 0.25 mL



4

Berikan Resusitasi Cairan
Segera setelah pemberian adrenalin di atas, berikan IV line dan infuskan normal saline atau Hartmann's solution (20 mL/kg). Lanjutkan selama diperlukan.



5

Ulangi Pemberian Adrenaline
Bila diperlukan, ulangi pemberian secara intra muskular setiap 5 menit. Adrenalin dalam dosis besar mungkin diperlukan, hingga maksimum 5 mL (5 mg). Bila sang pasien masih dalam kondisi shock setelah 2 kali pemberian adrenalin secara intra muskuler, pertimbangkan pemberian adrenalin secara infus untuk mengembalikan tekanan darah.



6

Berikan Ventilasi Buatan
Bila terdapat gangguan pernapasan yang berat dan kolaps kardiovaskular atau koma.



7

Pengobatan Tambahan
Bronkodilator à Untuk keadaan bronkospasme, berikan salbutamol atau terbutalin dengan nebuliser atau bentuk aerosol. Pada kasus yang berat gunakan secara terus-menerus.

Corticosteroid à Berikan hydrocortisone 2–6 mg/kg atau dexamethasone 0.1–0.4 mg/kg intravenous.

Adrenaline dlm bentuk nebulisasi (5 mL dari 1:1000) à dapat dicoba pada kasus edema laring dan dapat meringankan obstruksi saluran napas atas.

Penting : Jangan menunda intubasi bila obstruksi yang terjadi berkembang terus secara progresif.



8

Terapi Suportif
Lakukan observasi tanda vital sesering mungkin. Bila mungkin monitor ECG dan oksimetri. Pastikan pasien di lingkungan rumah sakit untuk observasi sedikitnya 4-6 jam setelah pulih dari gejala dan tanda anafilaksis, untuk mengantisipasi terjadinya serangan bifasik.




Catatan
  1. Adrenaline sifatnya life-saving dan harus diberikan sesegera mungkin. Menunda pemberiannya (akibat lupa tempat menyimpannya, dll) berakibat timbulnya efek samping yang membahayakan nyawa. Penggunaan adrenaline pada kondisi anafilaksis adalah aman dan efektif.
  2. Adrenaline 1:1000 mengandung 1000 microgram dalam 1 mL (1 mg/mL). Volume adrenaline yang dianjurkan bagi dewasa dan anak adalah kira-kira 5–10 microgram/kg. Berat badan anak bisa diperkirakan berdasarkan umurnya.
  3. Bila fasilitas perawatan khusus tidak tersedia segera, berikan adrenalin dalam larutan infus sebagai berikut
    - Campurkan 1 mg adrenaline (1 ampul) dalam 1000 mL normal saline
    - Berikan infus sebanyak 5 mL/kg/jam (kira-kira. 0.1 microgram/kg/menit)
    - Titrasi dapat dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan respon pasien
  4. Pada beberapa kasus dilaporkan kondisi pasien resisten terhadap adrenaline, khususnya bila pasien rutin menggunakan obat-obatan golongan beta bloker. Bila dosis yang adekuat tidak memberikan perbaikan, berikan glukagon 1–2 mg intravena selama 5 menit.
  5. Intubasi untuk obstruksi saluran napas yang sedang terjadi (impending) adalah suatu tindakan beresiko tinggi, sebaiknya hanya dilakukan oleh ahlinya.
  6. Kortikosteroid dapat mengubah durasi serangan dan mencegah relaps. Penting : jangan pernah mengandalkan kortikosteroid dan meninggalkan adrenalin.
  7. Tahanlah pasien di rumah sakit lebih lama bila ada riwayat asma dan alergi lainnya, atau bila pasien memerlukan dosis adrenalin yang berulang. Semua pasien harus di follow up untuk mencari kemungkinan faktor pencetus dan penatalaksanaan lebih lanjut
Terapi tambahan lainnya untuk anafilaksis adalah antihistamin AH1 dan AH2. Contohnya difenhidramin 25 - 50 mg i.v, ranitidin 50 mg i.v atau 150 mg p.o. Sangat disarankan untuk menggunakan kombinasi AH1 dan AH2 agar terapi lebih efektif. Pemberian inhalasi ß2- agonists seperti salbutamol bermanfaat bila terdapat bronkospasme. Kortikosteroid seperti metilprednisolon 125 mg i.v, atau prednison 50 mg p.o dapat bermanfaat mencegah timbulnya serangan kedua (bifasik). Pasien dengan hipotensi harus mendapatkan terapi cairan secara i.v yang mengandung koloid atau kristaloid. Pada kasus yang sangat berat mungkin diperlukan tambahan zat vasopressor seperti dopamin atau epinefrin dalam bentuk drip. Waktu aman untuk memberikan terapi pasca anafilaksis adalah 4 hari dengan pemberian prednison dan difenhidramin secara reguler.
Akhir kalam, observasi pasca terapi pada pasien diperlukan -terutama- untuk mengantisipasi serangan pada fase kedua. Meski kebanyakan terjadi pada periode 1 - 8 jam pertama, terdapat laporan dimana serangan fase kedua terjadi hingga 38 jam setelah serangan pertama. Observasi selama 24 jam pasca anafilaksis adalah idealnya, tapi secara praktis sulit. Disarankan agar pasien dibebaskan dari IGD dengan pengawasan yang ketat, dan mudah dijangkau just in case terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Menyusul terapi yang sukses, pasien sebaiknya diberi pengarahan, agar dia menggunakan semacam "tag" atau tanda pengenal bahwa pasien tersebut pernah mengalami anafilaksis, agar sebagai informasi terapi bagi dokter lain, di tempat lain, dan di waktu yang lain.



No comments: